Seruan Kiyai Citebon; Media, Pesantren, dan Tanggung Jawab Moral Siaran

Hukum125 Views
Read Time:1 Minute, 48 Second

 

 

Mpn.co.id. Dalam ekosistem demokrasi modern, media massa menempati posisi istimewa: ia bukan sekadar penyampai informasi, tetapi juga penentu arah persepsi publik. Karena itu, setiap tayangan yang melintasi layar kaca sejatinya mengandung tanggung jawab moral yang besar. Bila media tergelincir, dampaknya tidak hanya pada reputasi lembaga, melainkan juga pada kepercayaan sosial yang telah dibangun bertahun-tahun.

Itulah yang kini dirasakan oleh kalangan pesantren. Setelah munculnya tayangan Trans7 yang dianggap melecehkan martabat santri dan dunia pendidikan Islam tradisional, gelombang kekecewaan muncul dari berbagai daerah. Walau Chairil Tanjung, pemilik Trans7, telah menyambangi Pondok Pesantren Lirboyo untuk meminta maaf, suara keberatan dari wilayah tiga Cirebon tetap mengemuka.

Dalam pertemuan yang digelar di Cirebon pada Jumat (24/10), para kiai dan perwakilan pesantren dari Kabupaten Cirebon, Kota Cirebon, serta Kabupaten Indramayu menyampaikan tiga tuntutan tegas kepada Trans7 dan Trans Corporation.
Pertama, perlunya pembersihan unsur-unsur radikalisme di internal perusahaan.
Kedua, penayangan klarifikasi secara terbuka selama tujuh hari berturut-turut di jam tayang utama.
Ketiga, komitmen untuk menayangkan profil pesantren dengan waktu dan durasi yang jelas.

Ketua PCNU Indramayu, KH. Muhammad Mustofa, menilai tiga tuntutan ini bukan bentuk kemarahan, tetapi panggilan moral agar media lebih berempati dan beretika. Sementara itu, Ketua Tanfidziyah PCNU Kabupaten Cirebon, KH. Aziz Hakim Syaerozie, menekankan pentingnya tayangan yang menampilkan wajah Islam rahmatan lil ‘alamin—Islam yang membawa kesejukan dan persaudaraan, bukan kebencian.

Dalam konteks yang lebih luas, kasus ini menunjukkan masih rapuhnya kesadaran media terhadap keberagaman sosial dan keagamaan masyarakat Indonesia. Dunia pesantren adalah bagian tak terpisahkan dari sejarah dan identitas bangsa. Ia bukan hanya lembaga pendidikan, melainkan penjaga nilai moral dan spiritual di tengah arus modernisasi. Mengabaikan sensitivitas pesantren berarti mengabaikan akar kultural bangsa sendiri.

Permintaan maaf memang langkah awal yang patut diapresiasi. Namun, permintaan maaf tidak boleh berhenti di ranah simbolik. Tindakan konkret untuk memperbaiki konten, membangun dialog dengan komunitas keagamaan, dan memperkuat literasi budaya dalam ruang redaksi harus menjadi prioritas.

Jika tiga tuntutan para kiai Cirebon ini direspons dengan itikad baik, maka peristiwa ini bisa menjadi momentum pembelajaran berharga. Bukan hanya bagi Trans7, tetapi bagi seluruh industri media di Indonesia: bahwa kebebasan pers tidak boleh melupakan tanggung jawab moralnya kepada publik yang majemuk. ( eef

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *