Belajar, Kemerdekaan Berpikir Dan Mencekamnya Feodalisme

KopiBangbul195 Views
Read Time:6 Minute, 58 Second

 

“Belajar yang baik yaitu dengan mengalami, dan dalam mengalami itu menggunakan panca indera”

Lee J. Cronbrach, 1954 (Educational Psychology)

Saya menyukai apa yang pernah di tulis oleh Cronbach itu, belajar itu harus mengalami benturan dalam konteks apa yang disebutkan oleh Cronbach tadi yaitu “Panca Indera” kenapa Panca Indera? Saya berpikir tentang manusia dimana manusia memiliki lima organ penginderaan atau disebut Panca Indera tadi yang terdiri dari penglihatan (mata), pendengaran (telinga), peraba (kulit), penciuman (hidung), dan pengecap (lidah). Anda bisa membayangkan atau melihat berapa orang yang sukses dan bisa duduk di perguruan tinggi dan berhasil mendapat gelar berderet-deret di belakang namanya sementara ia dalam keadaan cacat atau disabilitas atau difabel. Dalam konteks benturan yang saya katakan diatas tadi ialah suatu rangsangan dari organ yang ingin mengetahui, bagi saya belajar tidak kenal batas sampai kapanpun bahkan sampai manusia masuk kedalam liang lahat atau kuburan, tempat peristirahatan terahkir. Orang yang cacat mungkin dari salah-satu organnya ia tidak mempunyai atau mempunyai tetapi ada faktor lain yang membuat organ itu tidak berfungsi selamanya. Misalkan terjadi kecelakaan, atau hal-hal lain yang membuat organ salah-satuhnya tidak berfungsi. Tetapi melalui Panca Indera yang masih berfungsi tadi ia bisa merasakan hal-hal yang ingin ia ketahui, sehingga ia mengalami suatu benturan entah itu benduran Panca Indera mata, hidung, telinga, kulit atau lidah.

Ketika anda bertanya kapan terjadinya benturan itu atau mengalaminnya. Saya menjawab ia akan mendapat rangsangan melalui perasa-perasa yang ia punya sehingga ia akan melakukannya dan terjadilah benturan tersebut. Benturan itu sama saja dengan mengalami, ketika seseorang sudah mengalami ia akan merasakan suatu hal baru yang belum ia ketahui sebelumnya. Saya tidak akan lebih jauh membahas ini tetapi saya ingin membahas ini sebagai analisis saja dan menggunakan suatu teori dari Cronbach yang di tulis diatas tadi.

Kembali ke Belajar, ada banyak sekali definisi tentang belajar, pendidikan dan sekolah. Sebetulnya saya tidak terlalu suka dengan kata pendidikan dan sekolah, pendidikan dan sekolah menurut saya terlalu eksplisit sehingga muda diketahui, mungkin bagi anak kecil yang baru duduk di bangku sekolah ia akan mengangguk paham dengan arti pendidikan dan sekolah. Bagi saya juga pendidikan dan sekolah itu ruangnya sangat terbatas sehingga ia dipandang sebagai gedung-gedung tinggi, atau bangunan-bangunan dengan kayu keropos dan kekacauan sistem yang justru membrangus anak didik atau anak sekolah.

Kenapa saya memilih kata Belajar, bagi saya Belajar jauh lebih luas konteksnya karena ia memiliki makna-makna yang bagi setiap orang bisa berinterpretasi  sehingga seseorang mampu berpikir dan melakukan pengolahan pikirannya sendiri untuk memikirkan apa itu Belajar. Disitulah seseorang akan menggunakan Panca Inderanya untuk membenturkan dirinya sendiri dan mengalami sesuatu yang ia belum tau sebelumnya. Ini kata yang pas menurut saya, Belajar tidak di pandang sebagai kata yang Absrud dan menjengkelkan, tetapi Belajar dapat diartikannya sendiri sesuai pikiran atau logika masing-masing orang.

KEMERDEKAAN BERPIKIR

Betapa menyenangkannya seorang ayah mengajak anaknya yang masih berumur 9 tahun duduk dibawah pohon pinus dan melihat bukit-bukit menjulang tinggi di depannya. Lalu ayahnya menjelaskan kepada anaknya tentang kenapa kita harus mencintai pohon, berapa banyak pohon yang menghasilkan oksigen untuk ia dan anaknya itu sehingga ia bisa menghirup udara segar sekali ketika ia di dekat pohon. Anaknya itu berpikir bebas dan mempertanyakan kepada dirinya sendiri, kenapa pohon bisa menghasilkan oksigen, kenapa bukit di depan sana begitu cantik di balut rerumputan hijau. Ia berpikir dalam-dalam tanpa ada yang mengintervensi pikirannya, ia bebas sekali memandang dan memikirkan itu. Bahkan ayahnya membiarkan ia berpikir tentang apa yang ia ucapkan barusan kepada anaknya. Cerita barusan tadi saya namakan dengan Kemerdekaan Berpikir, kemerdekaan dimana ia dapat menggunakan pikirannya tanpa ada yang mengintervensi atau melarangnya.

Proses adanya Kemerdekaan Berpikir ini bermula dari Belajar, sehingga ia dapat menggunakan pikirannya dengan Merdeka. Kemerdekaan Berpikir ini tidak akan mungkin terjadi jika seseorang itu tidak belajar, dan belajar itu tanpa kita sadari kita sedang belajar. Konteks pemaknaan dari kata belajar atau Kemerdekaan Berpikir ini saya sebut proses dewasa ketika ia sudah mengetahui makna dimana ia sedang Belajar. Kalau saya menggunakan cerita diatas tadi itu sebagai suatu analogi saja untuk bisa memahami apa itu Kemerdekaan Berpikir secara dasar. Kemerdekaan Berpikir secara dewasa lahir karena kita Belajar tentang pemaknaan dari apa yang kita rasa, kita dengar, kita lihat dan kita cium. Kemerdekaan Berpikir ini begitu kompleks meliputi pemaknaan yang ia kelola dari otaknya sehingga ia bisa merepresentasikan apapun yang ia rasakan dan dengarkan. Melalui banyak pertimbangan, pengelolaan dan aspek-aspek lain seperti perasaan hati yang ia gunakan untuk mengetahui sebuah pemaknaan yang ia dapat dari proses belajar.

Seperti ayah dan anak kecilnya yang diatas saya ceritakan, dalam hal yang fundamental mereka sedang belajar tentang mendapatkan pemaknaan di balik objek yang ia bisa lihat, rasakan, dengar dan cium. Belajar dan Kemerdekaan Berpikir bagi saya satu-kesatuan yang saling melengkapi, belajar itu pada akhirnya akan betul-betul mengetahui apa itu makna yang di dapat dari proses belajar ketika ia sudah mengetahui ia akan merasa Merdeka dan mendapatkan satu keleluasaan berpikir tanpa ada yang menekan, mengintervensi dan melarang.

MENCEKAMNYA FEODALISME

Mengapa Feodalisme mencekam? Pertanyaan selanjutnya mengapa saya menggunakan kata “Mencekam” untuk menamai Feodalisme ini. Tentu bagi saya Dunia belajar kita tergores karena menjalankan struktur kekuasaan sosiopolitik yang disebut Istilah Feodalisme ini. Feodalisme dipakai sejak abad ke-17 di Eropa sana, pada tahun 60-an justru para sejarawan memperluas penggunaan Istilah Feodalisme ini sehingga ada sebutan “Masyarakat Feodal” waktu itu yang berkonotasi buruk. Saya melihat budaya Feodal ini sudah mengakar dan menggerogoti Proses belajar kita. Landasan untuk mengetahui pokok aturan negara yaitu pada UUD 1945 pasal 31, ayat 1, Bab XII disitu menyatakan “Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran” tentu di UUD 1945 kita dengan gamblang mengetahui bunyi UUD itu dengan jelas dan terang. Tetapi apakah Feodalisme ini merusak proses belajar kita, tentu saya jawab iya. Apakah kita ketika mengacungkan tangan pada guru untuk menjawab atau menyanggah dari apa yang guru terangkan dianggap tidak sopan dan melawan. Ini tentu bertentangan dari apa yang saya terangkan di atas tentang “Belajar” bukankah saya mengatakan diatas bahwa belajar itu bebas dan tidak boleh di intervensi sehingga seseorang yang belajar dapat berpikir sendiri dan menemukan makna dari apa yang guru di depan terangkan.

Banyak tulisan dari berbagai Ahli mengenai Feodalisme ini walaupun tidak secara jelas di terangkan. Tetapi dari apa yang saya temukan tentang budaya feodal ini harus segera kita lawan, seharusnya pemerintah mengambil tindakan seperti apa yang diterangkan oleh ICW, berapa banyak kasus korupsi yang terjadi di ruang pendidikan, sekolah dan belajar. Bayangkan jumlah dana bantuan, khusus PIP sangatlah besar. Pada 2022, pemerintah mengalokasikan dana sebesar Rp. 9,6 Triliun atau sekitar 12% dari total anggaran yang dikelola Oleh Kemendikbud Ristek. Dana ditujukan untuk 17,9 Juta pelajar di seluruh tingkat pendidikan. Saya akan terus mengambil data dari ICW untuk menulis ini supaya terang dan masyarakat mengetahui. Bayangkan kasus penyelewengan anggaran PIP paling banyak pada jenjang pendidikan SD (49%), SMP (31%), SMK (11%), SMA (9%). Selain itu aktor yang paling banyak dilaporkan adalah Kepala Sekolah dan Guru. Kedua aktor tersebut melakukan penyelewengan dana bantuan PIP dengan modus pemotongan anggaran atau penggelapan. Belum lagi dana BOS terdapat 52 kasus atau 21,7%.

Kurang mencekam apa? Feodalisme diatas dan kasus korupsi yang terjadi di Negara kita Indonesia ini. Tanggal 2 Mei 2024 ini akan diperingati Hari Pendidikan Nasional, hari dimana seluruh Warga Negara Indonesia berkumpul di ruang yang dinakaman gedung sekolah itu. Pesan yang disampaikan pejabat membingungkan ketika ia berpidato di setiap di Hari Pendidikan Nasional ini. Anehnya pemerintah dan pejabat yang terhormat itu bagi saya hanya omon-omon, Istilah yang sedang marak diucapkan akhir-akhir ini. Banyak sekali terjadi penggelapan, korupsi dan sistem yang terus mengakar di tubuh gedung sekolah itu, yang seharusnya belajar untuk memerdekakan pikiran tetapi justru malah negara malah membrangus pikiran anak-anak bangsa.

Feodal yang mencekam, perlawanan pemikiran anak bangsa dibrangus ketika di hadapan gurunya, ia tidak di bebaskan berpikir, ia menjadi malu akhirnya, menjadi bodo amat pada akhirnya dan menjadi biasa saja dengan yang namanya belajar. Apakah itu bukan pembrangusan. Saya teringat kata Pramoedya Ananta Toer yang diucapkan oleh JJ Rizal dalam podcastnya bersama Ramon Y. Tungka. Ia mengatakan “Ada seorang kaisar china yang bertanya kepada permaisurinya. “Bagaimana kekuasaan itu tetap langgeng” kata kaisar china. Lalu Permaisurinya menjawab “Bikin rakyat itu bodoh”

Oleh: L Malaranggi
Seorang Mahasiswa Aktif dan juga seorang Pembelajar Sepanjang Hayat Bisa disapa di IG @malarangiii

Sumber: Indonesia Corruption Watch (ICW), Buku Educational Psychologi Lee J. Cronbach, 1954. Pramoedya Ananta Toer, Podcast Sejarawan JJ Rizal dan Ramon Y. Tungka.

Leave a Reply