Pinjam-meminjam bisa bersinggungan dengan hukum pidana bila terdapat niat jahat (dolus) atau rekayasa untuk merugikan sejak awal. Contoh:
a. Penipuan (Pasal 378 KUHP)
Jika seseorang berpura-pura akan mengembalikan pinjaman, padahal sejak awal tidak ada niat untuk membayar, bisa dikenakan pasal penipuan:
> Pasal 378 KUHP: “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu, tipu muslihat, atau rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu, dihukum karena penipuan…”
Contoh Kasus: Orang meminjam uang dengan janji manis, memberikan jaminan palsu, padahal sejak awal berniat melarikan diri dan tidak membayar.
b. Penggelapan (Pasal 372 KUHP)
Jika barang yang dipinjam tidak dikembalikan dan kemudian dikuasai seolah-olah miliknya sendiri, ini bisa dikenakan pasal penggelapan:
> Pasal 372 KUHP: “Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain dan barang itu ada dalam tangannya bukan karena kejahatan, dihukum karena penggelapan…”
Contoh Kasus: Seseorang meminjam mobil dan kemudian menjualnya tanpa izin pemilik.
Aspek Niat (Mens Rea) Sangat Penting
Jika niat untuk tidak mengembalikan pinjaman sudah ada sejak awal, maka bisa menjadi tindak pidana.
Tapi jika ketidakmampuan membayar terjadi setelahnya (misalnya karena gagal usaha), maka itu masuk ranah perdata.
Putusan Pengadilan dan Yurisprudensi
Beberapa putusan menyatakan bahwa utang piutang semata (tanpa bukti adanya niat jahat sejak awal) bukan tindak pidana. Misalnya:
Putusan MA No. 1234 K/Pid/2010: menekankan bahwa wanprestasi dalam pinjam-meminjam bukan pidana kecuali ada unsur tipu daya.
Semoga bermanfaat.
Penulis :
Adv. Dedi Buldani. SH ( dir. Lawfirma Merahputih Lawyers)