mpn.co.id, Indramayu – Gelombang penolakan datang dari para petani Blok Walahar 1, Cijambe Desa Bantarwaru, Kecamatan Gantar, Kabupaten Indramayu, terhadap rencana pembebasan lahan pertanian yang disebut-sebut akan dialihfungsikan menjadi kawasan industri. Rencana tersebut diduga melibatkan perangkat desa dan muspika setempat, namun dituding tanpa melalui proses musyawarah dengan para pemilik lahan.
Dalam pernyataan sikap tertulis yang disampaikan pada Senin (2/6/2025), para petani dengan tegas menolak rencana pembebasan lahan dan mengecam proses yang dinilai cacat prosedural. Surat tersebut ditujukan langsung kepada Kepala Desa Bantarwaru dan Camat Gantar sebagai bentuk protes atas ketidakadilan yang mereka alami.
Para petani menyebut tidak pernah dilibatkan dalam proses awal perencanaan alih fungsi lahan. Padahal, lahan tersebut menjadi sumber utama penghidupan ratusan keluarga yang menggantungkan hidup pada hasil tani. Mereka juga mengungkap adanya tekanan sosial dan dugaan keterlibatan aparat pemerintah dalam mendorong penjualan lahan secara diam-diam.
“Kami diperlakukan seperti objek, padahal kami pemilik sah tanah ini. Tidak ada sosialisasi, tidak ada musyawarah. Tiba-tiba kami diberi tahu tanah kami akan dijual untuk kawasan industri,” ungkap salah satu petani yang enggan disebutkan namanya.
Melanggar UU dan Semangat Konstitusi
Warga juga menilai bahwa rencana alih fungsi lahan tersebut melanggar sejumlah ketentuan hukum. Salah satunya adalah Undang-Undang No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, yang tegas menyatakan bahwa lahan pertanian harus dilindungi dari konversi fungsi yang tidak sesuai peruntukan.
Selain itu, UU Desa No. 6 Tahun 2014 menegaskan bahwa kepala desa memiliki kewajiban untuk memperjuangkan dan melindungi hak-hak masyarakat desa. Sementara itu, Pasal 33 UUD 1945 menempatkan kepentingan rakyat sebagai prioritas utama dalam pengelolaan sumber daya alam.
Atas dasar itulah, warga menuntut agar seluruh proses jual beli lahan segera dihentikan. Mereka juga meminta kepala desa dan camat menarik diri dari keterlibatan sebagai fasilitator dalam rencana pembebasan lahan yang mereka anggap merugikan.
“Kami tidak anti-investasi. Tapi jangan injak hak kami sebagai petani. Jangan korbankan masa depan anak-cucu kami demi kepentingan segelintir orang,” tegas Endang salah satu tokoh masyarakat setempat.
Para petani kini mendesak adanya mediasi independen dan perlindungan hukum dari pihak berwenang agar proses pembangunan yang terjadi di daerah mereka berjalan sesuai koridor hukum, transparan, dan berpihak pada rakyat kecil.
Penulis
(Jojo Sutrisno)