Indonesia sebagai negara demokrasi yang menjunjung tinggi pluralisme, kerap diwarnai dinamika sosial dan keagamaan yang kompleks. Salah satunya muncul dalam konflik antara dua entitas publik seperti PWI LS (Persatuan Wartawan Indonesia Lembaga Sosial) dan FPI (Front Pembela Islam). Meski keduanya memiliki basis dan orientasi berbedaāPWI LS sebagai organisasi profesi dan sosial, sedangkan FPI sebagai ormas Islam yang dikenal vokal dan militanānamun interaksi keduanya memunculkan gesekan yang mencerminkan problematika yang lebih dalam: antara kebebasan pers, dakwah Islam, dan toleransi sosial.
Konflik seperti ini tak bisa dibiarkan tanpa pengarahan. Perlu ada intervensi bijak dari pihak-pihak yang berwenang dan disegani. Di sinilah letak pentingnya peran MUI (Majelis Ulama Indonesia) dan Menteri Agama Republik Indonesia. Keduanya bukan sekadar simbol formal institusi agama, tetapi aktor kunci dalam merawat kerukunan, membina umat, dan menyelesaikan konflik berbasis agama secara adil.
Akar Masalah: Ketika Pers Bertabrakan dengan Aktivisme Ormas
Konflik antara PWI LS dan FPI berpotensi timbul dari sejumlah hal berikut:
1. Konten pemberitaan PWI LS yang dianggap menyudutkan atau mendiskreditkan FPI.
2. Reaksi keras dari pihak FPI yang menganggap diri mereka difitnah atau dijadikan kambing hitam dalam isu-isu sosial.
3. Respons publik yang terbelah antara pro-kebebasan pers dan pendukung ormas keagamaan.
4. Kurangnya dialog terbuka dan lembaga netral yang bisa mempertemukan dua pihak dengan cara bermartabat.
Konflik yang tak dikelola dengan baik bisa membesar menjadi api kebencian sektarian, memicu ujaran kebencian, bahkan kekerasan. Di sinilah diperlukan pendekatan moderat, adil, dan tegas dari tokoh dan lembaga otoritatif.
Peran MUI: Penjaga Moral dan Penengah Umat
1. MUI Sebagai Wasit Etik dan Moral
Majelis Ulama Indonesia memegang posisi sebagai moral authority di tengah umat. Ia bukan lembaga eksekutif negara, tapi punya otoritas moral yang sangat berpengaruh dalam hal:
Menjaga akhlak umat dalam berinteraksi sosial dan berdakwah.
Memberikan nasihat kepada ormas Islam agar berdakwah sesuai adab.
Menilai isu-isu aktual berdasarkan maqashid syariah (tujuan hukum Islam).
Jika FPI dinilai melampaui batas dalam merespons PWI LS, maka MUI dapat mengingatkan mereka agar tetap dalam koridor amar maāruf nahi munkar secara santun, bukan dengan intimidasi atau kekerasan.
2. MUI sebagai Penengah Konflik dan Fasilitator Rekonsiliasi
MUI memiliki peran tradisional sebagai juru damai antar ormas. Lewat forum tabayyun, silaturahmi kebangsaan, atau forum bahtsul masail, MUI dapat mempertemukan pihak yang berseteru dalam satu meja untuk berdamai atas dasar ukhuwah Islamiyah dan kemaslahatan umat.
Peran Menteri Agama RI: Penjaga Kerukunan dan Stabilitas Religius
1. Penjamin Konstitusi dan Toleransi
Sebagai pejabat negara, Menteri Agama berkewajiban menjaga pelaksanaan prinsip-prinsip UUD 1945, terutama Pasal 29 tentang kebebasan beragama dan kepercayaan.
Konflik horizontal bernuansa agama, apalagi melibatkan ormas, bisa mengancam stabilitas. Maka, Menag RI harus tampil sebagai pengarah narasi damai, bukan sekadar pengamat diam.
2. Fasilitator Dialog Lintas Ormas
Melalui Dirjen Bimas Islam, Kemenag dapat:
Mengadakan dialog terbuka antara tokoh FPI dan PWI LS.
Mendorong penggunaan ruang publik secara damai dan saling menghargai.
Menyusun konsensus etika dakwah dan media dalam kehidupan sosial.
Menag bisa berkolaborasi dengan Dewan Pers, MUI, Kominfo, bahkan kepolisian bila situasi eskalatif.
3. Penguatan Moderasi Beragama
Kemenag sedang gencar mempromosikan Moderasi Beragama sebagai fondasi Indonesia damai. Kasus konflik seperti ini justru menjadi momentum untuk mengaktualisasi program moderasi, dengan:
Mengedukasi masyarakat tentang pentingnya perbedaan yang konstruktif.
Menyebarkan narasi Islam rahmatan lil āalamin.
Menyadarkan media dan ormas agar tidak menjadi alat polarisasi.
Penulis : H Sona Susanto
Ketua Umum Komite Rakyat Indramayu Barat ( Korib)