Peran Strategis MUI dan Menteri Agama dalam Menyikapi Konflik PWI LS vs FPI

Read Time:3 Minute, 53 Second

 

Umat Islam Indonesia sedang menghadapi tantangan internal yang tidak bisa diremehkan: konflik antara kelompok Pejuang Walisanga Indonesia Laskar Sabilillah (PWI LS) dengan Front Pembela Islam (FPI). Kedua kelompok ini mewakili dua corak semangat Islam yang militan—satu menjunjung nilai-nilai perjuangan warisan Walisanga dengan kearifan lokal Nusantara, dan yang satu lagi memiliki semangat purifikasi dan amar ma’ruf nahi munkar yang kuat.

Ketegangan ini tidak hanya menjadi konflik horizontal biasa, namun menyentuh dimensi yang lebih dalam: konflik identitas keislaman, loyalitas sejarah, serta perebutan legitimasi keummatan di ruang publik. Dalam situasi ini, peran Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI) menjadi sangat penting untuk memastikan arah gerak umat Islam tetap pada jalur persatuan dan bukan perpecahan.

Pandangan terhadap warisan tradisi Islam Nusantara: PWI LS menegaskan pentingnya menjaga nilai-nilai kultural dakwah Walisanga, sedangkan FPI lebih puritan dan menolak unsur-unsur budaya yang dianggap bid’ah.

Gaya pendekatan dakwah: PWI LS cenderung damai dan melalui pendekatan sosial-budaya, sementara FPI dikenal dengan pendekatan konfrontatif dan “penegakan amar ma’ruf”.

Persaingan pengaruh terhadap umat dan ruang publik Islam: Keduanya memiliki basis massa militan dan loyal, yang rawan terprovokasi oleh narasi permusuhan.

Tanpa penanganan serius, ketegangan ini bisa menjadi preseden buruk bagi umat Islam Indonesia, yang justru selama ini dikenal moderat dan toleran.

Sebagai lembaga keulamaan terbesar, MUI memiliki otoritas moral yang tidak dimiliki ormas lain. Dalam konteks ini, ada tiga strategi utama yang bisa dan semestinya dijalankan MUI :

1. Fatwa Keadaban Antar Ormas

MUI perlu mengeluarkan taushiyah nasional yang menekankan bahwa perbedaan manhaj dakwah bukan alasan untuk saling menyesatkan, apalagi menyerang. Ukhuwah Islamiyah harus diutamakan di atas rivalitas internal.

2. Dialog Ulama Lintas Organisasi

MUI semestinya menjadi inisiator forum pertemuan tertutup antara tokoh-tokoh PWI LS dan FPI. Dalam sejarah Islam, ishlah (rekonsiliasi) selalu dilakukan di bawah naungan para ulama besar. Tidak cukup hanya deklarasi damai di media sosial, namun dibutuhkan mushawarah dengan niat tulus untuk menjaga marwah umat.

3. Standar Dakwah Nasional

Melalui Komisi Dakwah dan Ukhuwah Islamiyah, MUI bisa menyusun pedoman dakwah bersama, yang menjadi titik temu antara semangat amar ma’ruf dan dakwah bil hikmah. Dakwah tidak boleh menjadi instrumen perpecahan, apalagi kekerasan

Sementara itu, Menteri Agama RI selaku perwakilan negara dalam urusan agama punya kewajiban konstitusional untuk menjamin kebebasan beragama dan menjaga kerukunan umat. Dalam konflik ini, peran strategis Menag adalah:

1. Fasilitator Rekonsiliasi Nasional

Menag memiliki kapasitas untuk memanggil kedua pimpinan ormas dan menciptakan ruang netral untuk menyelesaikan perselisihan. Bukan sekadar sebagai wasit, tapi sebagai pelayan umat yang mencarikan jalan tengah secara adil.

2. Program Moderasi Beragama

Konflik PWI LS -FPI membuktikan bahwa program moderasi beragama bukan sekadar jargon, tetapi harus menyentuh basis ormas Islam secara langsung. Kemenag bisa mengadakan pelatihan dan internalisasi nilai moderasi bagi pengurus, da’i, hingga kader ormas.

3. Evaluasi Legalitas dan Etika Ormas

Melalui UU Ormas dan UU Kerukunan Umat Beragama, Kemenag juga punya tanggung jawab untuk menilai apakah ormas-ormas ini masih berjalan dalam koridor NKRI dan Pancasila. Jika terdapat unsur hasutan, kekerasan, atau intoleransi, perlu ada intervensi hukum secara selektif dan tegas, agar tidak menjadi preseden buruk.

Perlu disadari bahwa konflik ini tidak lepas dari aroma politisasi agama. Beberapa pihak mungkin memanfaatkan situasi ini untuk:

* Menjatuhkan citra ormas tertentu
* Menciptakan ketidakstabilan sosial menjelang tahun politik
* Meningkatkan popularitas tokoh dengan menaiki isu “defender of Islam”

Di sini, MUI dan Kemenag harus netral, bersih dari kepentingan politik praktis, dan hanya memihak pada kemaslahatan umat

Rekomendasi Kebijakan dan Strategi Jangka Panjang

Agar konflik semacam ini tidak berulang, berikut langkah-langkah strategis:

1. Pendidikan Etika Keormasan

Materi tentang toleransi, adabul ikhtilaf, dan kerja sama antarumat Islam harus masuk ke kurikulum pesantren, madrasah, dan pelatihan ormas.

2. Forum Ukhuwah Ormas Islam Nasional

MUI dan Kemenag perlu secara berkala menyelenggarakan Temu Tokoh Ormas Islam lintas ideologi, agar ada kanal komunikasi terbuka dan tidak langsung ke media.

3. Indeks Kerukunan Ormas

Kemenag bisa mengembangkan Indeks Kerukunan Umat Islam, tidak hanya antaragama. Ini bisa menjadi rujukan nasional dalam mengukur suhu kerukunan internal umat.

4. Peran Tokoh NU dan Muhammadiyah

NU dan Muhammadiyah sebagai ormas besar bisa menjadi jembatan damai dan penengah. Mereka perlu menginisiasi tahkim atau “sidang ukhuwwah” untuk konflik semacam ini.

Persatuan umat Islam Indonesia adalah amanah sejarah, sekaligus prasyarat kemajuan bangsa. Konflik antara PWI LS dan FPI harus disikapi bukan dengan pembiaran atau pemihakan, tetapi dengan kebijaksanaan, keulamaan, dan kenegarawanan.

MUI dan Menteri Agama RI memegang peran strategis untuk memastikan bahwa Islam Indonesia tetap berjalan di atas rel ukhuwah, wasathiyah, dan kemaslahatan. Jika para ulama dan pemimpin umat bisa duduk bersama, maka benarlah sabda Nabi: “Al-ulama waratsatul anbiya” – para ulama adalah pewaris para nabi, dan warisan terbesar nabi adalah perdamaian, bukan permusuhan.

H.Sona Susanto ( Pemerhati sosial keagamaan)

Leave a Reply