Hari Santri Nasional (HSN) diperingati setiap 22 Oktober sebagai penghormatan terhadap peran santri dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan bangsa. HSN bukan hanya peristiwa seremonial, tetapi juga pengakuan negara atas kontribusi pesantren dalam membentuk karakter bangsa: moderat, toleran, dan berkeadaban.
Namun, peringatan HSN 2025 terusik oleh tayangan program “Xpose Uncensored” di Trans7 (13 Oktober 2025) yang memicu gelombang protes dari kalangan pesantren. Tayangan tersebut dinilai menampilkan narasi yang melecehkan martabat pesantren dan para kiai, termasuk dengan menyebut istilah “perbudakan santri” dan “santri ngesot” secara generalisasi tanpa klarifikasi konteks.
Polemik ini menjadi ujian sekaligus cermin bagi wajah penegakan hukum dan keberadaban sosial di Indonesia.
1. Dimensi Hukum: Antara Kebebasan Pers dan Perlindungan Identitas
Konstitusi menjamin kebebasan berekspresi dan kemerdekaan pers (Pasal 28E dan 28F UUD 1945), namun juga mewajibkan setiap warga negara menghormati hak orang lain, termasuk hak atas kehormatan dan identitas sosial-budaya.
Trans7 sebagai lembaga penyiaran tunduk pada:
UU No. 32/2002 tentang Penyiaran
Pedoman Perilaku Penyiaran & Standar Program Siaran (P3SPS KPI)
UU ITE dan ketentuan pencemaran nama baik dalam KUHP
Pernyataan-pernyataan bernuansa fitnah atau penghinaan terhadap lembaga keagamaan dan kelompok identitas (dalam hal ini, pesantren) bukan bagian dari kebebasan pers, melainkan berpotensi menjadi pelanggaran hukum jika tidak didasarkan pada fakta dan dilakukan dengan maksud merendahkan.
Bersama kita dukung penuh Langkah dan upaya hukum PBNU, termasuk pengaduan ke KPI dan upaya hukum pidana dan atau perdata, merupakan wujud pengawasan publik terhadap media, bukan bentuk anti-demokrasi.
2. Dimensi Sosial: Reputasi Pesantren sebagai Pilar Keberadaban
Pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan, melainkan benteng moral dan pusat transmisi nilai-nilai keislaman yang rahmatan lil ‘alamin. Santri dan kiai memainkan peran penting dalam menjaga kedamaian sosial, terutama dalam konteks kemajemukan Indonesia.
Generaliasi negatif terhadap pesantren berisiko melahirkan prasangka kolektif, melemahkan kepercayaan publik, bahkan bisa menyuburkan benih kebencian atau polarisasi di masyarakat.
Oleh karena itu, respons publik terhadap tayangan Trans7 mencerminkan bahwa masyarakat menuntut keadilan moral, bukan hanya keadilan hukum.
Polemik ini membuka ruang refleksi bersama bahwa:
Media wajib mawas diri, memahami batas antara kritik dan penghinaan. Kritik terhadap sistem bisa dibenarkan, namun menyasar martabat kelompok secara sembarangan adalah pelanggaran etik.
Pesantren perlu terbuka pada transparansi, sekaligus memperkuat mekanisme advokasi ketika difitnah.
Negara wajib hadir, bukan sekadar menjadi wasit, tetapi penegak keadaban publik melalui aturan yang adil dan tegak.
HSN bukan hanya seremoni, tapi saat yang tepat untuk menyuarakan bahwa martabat santri = martabat bangsa. Jika santri yang identik dengan nilai luhur dilecehkan tanpa pertanggungjawaban, maka yang dirusak bukan hanya nama baik mereka, tapi tatanan sosial itu sendiri.
Polemik tayangan Trans7 di momen Hari Santri Nasional 2025 harus dijadikan pelajaran kolektif. Ini bukan sekadar persoalan antara satu media dan satu kelompok, tetapi menyangkut bagaimana kita memaknai kebebasan dengan tanggung jawab, hak berekspresi dengan batas etika, serta penegakan hukum dengan semangat menjaga keberadaban sosial.
Dalam semangat HSN, mari kita jadikan hukum bukan alat permusuhan, tapi jembatan keadilan. Dan mari kita rawat keberadaban sebagai pondasi utama hidup berbangsa.
Penulis :
D.Buldani (LPBH NU Indramayu & Advokasi SMSI )