Merah Putih DwiWarna Dari Pembentukan dan Kelahiran Manusia Menjadi Wujud Syukur Doa dan Keselamatan sampai ke Tiang Bendera: Jejak Ajaran Leluhur Nusantara

KopiBangbul84 Views
Read Time:2 Minute, 33 Second

 

Oleh: Bang Bul

Dalam ajaran leluhur nusantara yang terangkum sedulur papat lima pancer kelahiran manusia diawali dari pembentukan sedulur papat bahkan telah dimulai ketika bapak dan ibu kita beradu pandang dalam rasa cinta sehingga menimbulkan gairah didalam diri mereka berdua sperma berasal dari purus bapak dan ovum berasal dari bhaga Ibu, ovum disebut karma bang sebab benih kelahiran manusia berwarna merah berkialauan di rahim ibu sedangkan sperma ( pethak)  berwarna putih dari dua warna itu tubuh manusia tersusun dan berproses untuk kelahiran dari rahim.ibu. ( sedulur papat lima pancer iketut sandika)

Sebagai wujud syukur
Di dapur-dapur rumah Nusantara, jauh sebelum bangsa ini memiliki nama “Indonesia”, lahirlah sebuah tradisi yang penuh simbol dan doa. Seorang bayi baru saja lahir, tangisnya membelah udara, dan keluarga menghidangkan bubur merah putih. Bubur putih yang lembut melambangkan kesucian jiwa yang baru saja datang dari alam ruh—masih bersih, belum tersentuh noda dunia. Bubur merah melambangkan darah dan semangat hidup—tenaga, keberanian, dan daya juang yang akan dibutuhkan untuk menapaki jalan panjang kehidupan.

Ajaran leluhur tidak pernah sekadar berhenti di simbol. Ia mengajarkan bahwa hidup adalah keseimbangan dua kekuatan: nyala merah yang memberi keberanian untuk bergerak, dan cahaya putih yang menjaga kemurnian arah. Terlalu banyak merah tanpa putih akan melahirkan keberanian yang buta; terlalu banyak putih tanpa merah akan menjadikan kesucian yang rapuh.

Filosofi ini tak hanya milik satu etnis. Di Jawa, bubur merah putih hadir dalam selamatan kelahiran. Di Bali, persembahan banten sering mengandung warna merah dan putih untuk memohon keseimbangan. Di Bugis, simbol merah putih hadir dalam kain adat yang melambangkan persatuan jiwa dan tenaga. Di Minangkabau, warna ini ditemukan pada songket dan hiasan upacara, membawa pesan yang sama: harmoni antara tenaga dan nurani.

Seiring berjalannya waktu, simbol ini merambah dari ranah keluarga ke ranah kerajaan. Majapahit, yang wilayahnya membentang luas di Nusantara, mengibarkan panji merah putih di kapal-kapal perang dan istana. Merah putih menjadi tanda kesatuan, mengingatkan bahwa kerajaan akan kokoh jika keberanian pasukannya dijaga oleh kesucian niat pemimpinnya.

Kemudian, sejarah berputar. Rakyat Nusantara bangkit melawan penjajahan, dan para pemimpin pergerakan mencari simbol yang mampu menyatukan semua suku dan budaya. Pilihan jatuh pada merah putih—warna yang tidak hanya memiliki akar sejarah kerajaan, tetapi juga berakar dalam ajaran keluarga dan adat leluhur. Saat bendera itu dikibarkan pada 17 Agustus 1945, ia bukan hanya tanda kemerdekaan, tetapi juga puncak perjalanan panjang sebuah filosofi.

Kini, setiap kali kita berdiri di bawah bendera yang berkibar, seharusnya kita melihat lebih dari sekadar kain. Kita sedang melihat cerminan darah dan tulang bangsa ini—warna yang sama yang menyambut kita di hari kelahiran. Tiang bendera adalah perpanjangan dari meja selamatan leluhur; lapangan upacara adalah ruang keluarga yang diperluas hingga mencakup seluruh negeri.

Pesan leluhur tetap sama:
Jaga merahmu, agar api keberanian tidak padam oleh ketakutan.
Jaga putihmu, agar cahaya kesucian tidak redup oleh noda.

Sebab merah putih bukan hanya bendera yang dikibarkan setiap 17 Agustus. Ia adalah doa yang disematkan pada kita sejjak pembentukan diri dan kelahiran Bangsa Nusantara, warisan yang membentang dari dapur rumah-rumah sederhana hingga ke langit Nusantara.

Jayalah merah putih ku merah putih bangsa nusantara

Leave a Reply