Geotermal Bukan Tanpa Masalah—DPR Harus Menjawab Tiga Dilema Krusial Oleh: …

KopiBangbul175 Views
Read Time:2 Minute, 24 Second

 

 

Pernyataan anggota Komisi VII DPR RI, H. Rohkmat Ardiyan, yang mendorong percepatan pengembangan panas bumi dengan merujuk pada potensi Indonesia yang mencapai 40–50 persen cadangan dunia, memang benar adanya. Namun, narasi tersebut gagal menyentuh tiga hambatan mendasar yang justru menahan laju transisi energi Indonesia: dilema ekonomi, risiko lingkungan, dan mandeknya pembenahan regulasi.

Dilema Ekonomi yang Tak Diakui

Masalah terbesar geotermal bukan sebatas kebutuhan modal besar, melainkan Harga Jual Beli (HJB) listrik yang tidak menarik bagi investor. PLN sebagai pembeli tunggal kerap enggan membeli listrik geotermal karena harganya lebih tinggi dibanding PLTU batu bara—yang disubsidi secara terselubung—sertapembangkit surya atau angin yang semakin murah.

Jika pemerintah dan DPR sungguh ingin mempercepat energi hijau, keberpihakan kebijakan seharusnya berupa skema harga wajib seperti feed-in tariff yang jelas, bukan sekadar imbauan. Tanpa keberanian memaksa PLN membayar harga keekonomian, ambisi besar geotermal hanya akan menjadi slogan.

Risiko Lingkungan yang Sengaja Diabaikan

Geotermal kerap disebut energi bersih, tetapi narasi ini luput menyertakan fakta penting: sebagian besar potensi panas bumi Indonesia berada di kawasan konservasi—termasuk Gunung Ciremai yang menjadi tumpuan sumber air bagi Kuningan dan daerah sekitarnya.

Meski UU No. 21/2014 telah membuka pintu eksplorasi di hutan lindung dan taman nasional, kenyataannya izin tersebut selalu menimbulkan resistensi warga dan pegiat lingkungan. Alasannya jelas:

Deforestasi: pembukaan lahan untuk pengeboran dan jalan akses merusak tegakan hutan, melemahkan fungsi resapan air.

Gangguan ekosistem: pengeboran berpotensi mengubah struktur geologi dan mengganggu mata air yang menjadi sumber air baku warga.

Jejak kerusakan juga sudah terlihat di berbagai tempat.
Di Dieng, warga mengeluhkan bau gas menyengat dan penurunan kualitas air.
Di Baturraden, eksplorasi memicu penolakan luas karena mengancam sumber air dan keanekaragaman hayati.
Di Mataloko, proyek mangkrak justru meninggalkan kerusakan dan tanda tanya soal efisiensi investasi.

Jika geotermal ingin diklaim sebagai energi hijau, KLHS yang ketat dan partisipatif menjadi syarat mutlak, bukan sekadar formalitas perizinan konservasi.

Regulasi Energi: Mandek di Meja DPR

Rohkmat Ardiyan menyoroti peran strategis Dewan Energi Nasional (DEN), namun pertanyaan yang lebih mendesak justru tertuju kembali ke DPR:
Mengapa RUU Energi Baru dan Terbarukan (EBET) yang seharusnya menjadi payung hukum utama masih belum memberi kepastian harga dan perlindungan kawasan konservasi?

Klaim bahwa daerah akan mendapat Dana Bagi Hasil (DBH) memang menggoda. Namun apa gunanya DBH jika hutan konservasi—penyangga air dan benteng bencana—harus dikorbankan? Energi boleh terbarukan, tetapi kerusakannya justru tidak terbarukan.

Ciremai: Benteng Air, Bukan Ladang Eksperimen

Potensi geotermal adalah peluang, tetapi peluang yang harus dikelola dengan keberanian moral dan ilmiah. Jejak kerusakan di Dieng, Baturraden, dan Mataloko harus menjadi peringatan bahwa panas bumi bukan tanpa risiko.

Pertanyaannya kini sederhana namun menentukan:
Apakah Indonesia akan memaksakan eksploitasi geotermal di Ciremai—benteng terakhir Kuningan dari krisis air—hanya demi mengejar target energi yang dapat diraih tanpa merusak kawasan konservasi?

DPR memiliki pilihan. Mendukung energi bersih yang benar-benar berkelanjutan, atau membiarkan ambisi hijau berubah menjadi ilusi.

Penulis :

Maun Kusnandar/Ciremai Resilience Initiative

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *