Ketika Ekowisata Merusak, HHBK Menjadi Penyelamat Desa Gunung Ciremai, dengan status Taman Nasionalnyhn a, kini menjadi medan pertarungan ganda: konflik tenurial atas hak asal usul desa penyangga, dan konflik ekologi akibat
pembangunan yang merusak daya dukung lingkungan.
Di satu sisi, desa-desa penyangga di kaki Ciremai terperangkap dalam jerat hukum
konservasi yang membuat hak asal usul mereka atas wilayah kelola tradisional sulit
diakui. Mereka dituntut untuk mengelola kawasan dengan izin Kemitraan Konservasi
(KK)—sebuah solusi sementara yang tidak memberikan kepastian hak milik.
Di sisi lain, praktik pariwisata massal di lereng Ciremai telah memperlihatkan wajah buruk eksploitasi.
Kasus longsor yang terjadi di jalur dekat obyek wisata, seperti yang terjadi di
dekat Arunika, menjadi bukti nyata bahwa alih fungsi lahan secara masif dan
pembangunan yang abai telah merusak tata ruang, mengurangi daya dukung, dan
mengancam keselamatan ekosistem serta masyarakat di bawahnya.
HHBK dan Getah Pinus: Solusi yang Lestari dan Terlembaga
Melihat bahaya dari pembangunan wisata yang tidak terkontrol, prioritas harus kembali pada model ekonomi yang sinergis dengan konservasi. Di sinilah Badan Usaha Milik
Desa (BUMDes) dan Koperasi Desa Merah Putih wajib mengambil peran sentral dalam
skema Kemitraan Konservasi, berfokus pada Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang
lestari:
• Manajemen Hilir HHBK: Unit usaha ini bisa fokus pada pengelolaan dan
pemanfaatan HHBK yang low-impact dan high-value. Termasuk di dalamnya
adalah getah pinus yang dapat dipanen tanpa merusak tegakan pohon, kopi
Ciremai, buah-buahan endemik, atau produk agroforestri lainnya.
• Legalitas dan Keberlanjutan: BUMDes/Koperasi memiliki struktur formal yang
kokoh untuk mengikat perjanjian KK dengan Balai TNGC. Ini memastikan
pemanfaatan getah pinus dan HHBK lainnya dilakukan dengan metode yang
bertanggung jawab, sesuai kuota, dan berkelanjutan, jauh berbeda dengan model
eksploitasi berbasis alih fungsi lahan.
Ancaman Alih Fungsi Lahan vs. Kewajiban Konservasi
Peristiwa longsor di lereng Ciremai menjadi alarm keras bahwa alih fungsi lahan dan
pembangunan masif, meskipun mengatasnamakan pariwisata atau Pendapatan Asli
Daerah (PAD), justru mengorbankan daya dukung dan daya tampung lingkungan.
Kerusakan ini menghilangkan fungsi hutan sebagai pengatur tata air dan pencegah
bencana, yang seharusnya menjadi prioritas utama TNGC.
Oleh karena itu, Balai TNGC dan Pemerintah Daerah harus bersikap tegas:
1. Audit dan Moratorium: Segera lakukan audit lingkungan menyeluruh terhadap
semua izin pembangunan pariwisata di kawasan rawan bencana/zona penyangga
yang berisiko mengubah tata ruang.
2. Perkuat HHBK: Memprioritaskan penguatan BUMDes/Koperasi dalam
pengelolaan HHBK (termasuk getah pinus) sebagai model ekonomi resmi KK,
yang merupakan praktik pemanfaatan kawasan yang paling sesuai dengan prinsip
konservasi.
Desakan untuk Masa Depan yang Adil dan Aman BUMDes dan Koperasi Desa Merah Putih bukan hanya alat ekonomi, tetapi juga benteng ekologi yang dapat membuktikan bahwa kesejahteraan desa dapat dicapai tanpa merusak Ciremai. Sementara perjuangan Hak Asal Usul desa terus berlangsung, kita harus memastikan bahwa solusi yang diambil saat ini, baik itu Kemitraan Konservasi,
benar-benar berlandaskan keadilan ekonomi dan prinsip kelestarian lingkungan—bukan
pada model eksploitasi yang merusak dan mengancam bencana.
Penulis :
R.Diyah Ayu P
Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kuningan, Aktivis Lingkungan Hidup dan Advokasi masyarakat Lokal dan pembangunan
berkelanjutan.
