Perjanjian fidusia pada dasarnya merupakan kesepakatan keperdataan antara kreditur dan debitur, di mana debitur menyerahkan hak milik atas suatu benda secara kepercayaan kepada kreditur sebagai jaminan utang. Namun, perkembangan praktik memperlihatkan adanya kebutuhan intervensi hukum pidana dalam mengatur dan menegakkan kepatuhan terhadap perjanjian fidusia, terutama dalam hal penyalahgunaan atau penipuan yang merugikan pihak lain.
Paradigma hukum pidana terhadap perjanjian fidusia hadir sebagai instrumen pelindung kepentingan hukum, terutama ketika tindakan salah satu pihak dalam perjanjian sudah memasuki wilayah pelanggaran pidana.
Konvergensi Hukum Perdata dan Pidana dalam Fidusia
Secara teori, hukum perdata dan hukum pidana berada pada ranah yang berbeda — hukum perdata mengatur hubungan antara subjek hukum secara horizontal (privat), sedangkan hukum pidana bersifat vertikal (negara vs individu) dan bersanksi represif.
Namun, dalam praktik fidusia, seringkali terjadi penyimpangan, misalnya:
Debitur yang mengalihkan, menjual, atau menggadaikan objek fidusia kepada pihak ketiga tanpa seizin kreditur.
Kreditur atau debt collector yang melakukan perampasan objek fidusia secara paksa, tanpa prosedur yang sah.
Kedua tindakan tersebut berpotensi masuk ke ranah hukum pidana.
Aspek Pidana dalam UU Jaminan Fidusia Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia tidak hanya memuat ketentuan perdata, tetapi juga ancaman pidana, di antaranya:
Pasal 36: “Pemberi Fidusia yang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan benda yang menjadi objek jaminan fidusia tanpa persetujuan tertulis dari Penerima Fidusia dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp50.000.000,00.”
Pasal 37: Pengalihan objek fidusia secara tidak sah juga dapat dikualifikasikan sebagai penggelapan (Pasal 372 KUHP) atau penipuan (Pasal 378 KUHP), tergantung pada unsur-unsurnya.
Artinya, pelanggaran terhadap perjanjian fidusia tidak hanya menimbulkan sengketa perdata, tetapi juga bisa diproses secara pidana apabila terdapat unsur itikad buruk dan kerugian yang disengaja.
Penulis :
Adv. Dedi Buldani.SH (Dir. Lawfirma Merahputih Lawyers)