Legal Opinion : Upaya Hukum Korban Kredit Fiktif

KopiBangbul695 Views
Read Time:3 Minute, 58 Second

 

Maraknya Pemberitaan terkait Kredit Fiktif di media siber maupun Media Cetak di kabupaten Indramayu, Penulis merasa perlu untuk menyampaikan legal opinion terkait upaya hukum yang dapat dilakukan bagi korban Kredit Fiktif.

Bahwa perbankan berfungsi sebagai financial intermediary, bank sebagai lembaga perantara bagi pihak yang berkelebihan dana (surplus of funds) dengan pihak yang kekurangan dana (lack of funds).

Karena fungsi ini, bank memiliki tugas untuk mengelola dana masyarakat dengan menghimpun dan menyalurkannya kepada masyarakat. Penyaluran yang dimaksud dilakukan dalam bentuk produk dan jasa layanan perbankan, salah satunya dalam bentuk kredit.

Brymont P. Kent menjelaskan pengertian kredit sebagai hak dalam menerima pembayaran maupun sebuah kewajiban dalam melakukan sebuah pembayaran dengan waktu yang telah diminta atau pada waktu yang akan datang, dalam penyerahan suatu barang-barang pada waktu sekarang.

Adapun unsur-unsur kredit sebagai berikut: a. Kepercayaan Kepercayaan b. Kesepakatan kesepakatan antara kreditur dengann debitur, c. Jangka Waktu Setiap kredit yang diberikan memiliki jangka waktu ini mencakup masa pengembalian kredit yang telah disepakati, d. Resiko Akibat adanya tenggang waktu, e. Balas Jasa Balas jasa bagi bank merupakan keuntungan atau pendapatan atas pemberian suatu kredit. Balas jasa kita kenal dengan bunga. Disamping balas jasa dalam bentuk bunga bank juga membebankan kepada nasabah biaya administrasi kredit yang juga merupakan keuntungan bagi lembaga perbankan

berdsarkan pada ketentuan Pasal 1 angka 11 UU Perbankan, kredit didefinisikan sebagai penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab menyalahgunakan hal ini dengan melakukan tindakan curang sehingga mengakibatkan kerugian tidak hanya bagi pihak bank, tetapi juga bagi nasabah dan negara.

Salah satu tindakan kecurangan berkaitan dengan kredit yang dilakukan oleh oknum-oknum tersebut dikenal sebagai kasus kredit fiktif.

Kredit fiktif dalam perkara ini diartikan sebagai kejahatan yang dilakukan oleh oknum Perbankan yang mencantumkan nama seseorang seolah – olah sebagai pemegang kredit  dengan menggunakan identitas dan informasi palsu untuk memperoleh fasilitas dari bank.

Pada kasus ini, berkas yang dipersyaratkan tersedia namun nasabahnya tidak merasa menerima pinjaman uang karena memang dilakukan tanpa konfirmasi dan merupakan rekayasa oknum perbankan sehinggga nama yang di catut bertanggung jawab untuk mengembalikan uang pinjaman dari Pihak Perbankan.

Berdasarkan pasal 1320 KUHperdata tentang syraat syahnya perjanjian, tentunya kredit fiktif ini tidak memenuhi persyaratan tersebut.

Hal ini dikarenakan identitas Konsumen yang digunakan oleh pihak Perbankan tanpa konfirmasi dan persetujuan Calon Konsumen, sehingga tergolong sebagai perbuatan melawan hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata.

Merujuk pada ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata, pihak intern (oknum pegawai bank) memiliki kewajiban untuk bertanggung jawab kepada calon Konsumen /Nasabah yang identitasnya dipakai tanpa izin pada kredit fiktif.

Hal tersebut wajib dipenuhi oleh pegawai bank bersangkutan dikarenakan oknum pegawai bank  dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum yang dalam hal ini diduga melakukan pemalsuan surat sebagaimana pasal 263 KUHP, seperti memalsukan data-data pemohon kredit sehingga berakibat bagi nasabah yang identitasnya dipakai untuk menanggung resiko kelak dikemudian hari.

Bahwa berdasarkan Pasal 1367 KUHPerdata, bank juga memiliki tanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan oleh pegawainya mengingat hubungan bank dengan karyawan adalah hubungan atasan dan bawahan. Oleh karena itu berdasarkan ketentuan Pasal 1365 jo. 1367 KUHPerdata, maka pihak bank dan pegawai bank bersangkutan wajib memberikan ganti rugi kepada nasabah yang identitasnya dipakai dalam kredit fiktif.

Lebih lanjut, UU Perlindungan Konsumen juga turut mengatur hak-hak konsumen secara lebih terperinci sebagaimana dalam Pasal 4 huruf c, yaitu hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Namun dalam kasus kredit fiktif, tentunya penyalahgunaan identitas nasabah tanpa seizin nasabah bersangkutan tergolong sebagai perbuatan yang tidak jujur sehingga bertentangan dengan pengaturan ketentuan ini.

Bahwa kewajiban pelaku usaha yang dalam hal ini adalah bank sebagaimana diatur dalam Pasal 7 huruf f UU Perlindungan Konsumen adalah memberikan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.

Namun sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (4) UU Perlindungan Konsumen, pemberian ganti rugi oleh pelaku usaha tidak menghapuskan kemungkinan tuntutan pidana apabila dapat dibuktikan lebih lanjut terkait adanya unsur kesalahan. Berdasarkan Pasal 45 ayat (2) UU Perlindungan Konsumen, nasabah sebagai konsumen yang dirugikan dapat menempuh langkah hukum baik melalui pengadilan ataupun diluar pengadilan. Dan Atau melakukan Laporan ke kantor Kepolisian RI atas dugaan tindak pidana pemalsuan surat sebagaimana diatur dalam Pasal 263 KUHPidana.

Semoga bermanfaat

Penulis : Adv. Dedi Buldani, SH (Praktisi Hukum)  Ketua LPBH NU Indramayu

Sumber:

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

Kitab Undang – undang Hukum pidana dan Kitab Undang – undang Hukum Acara Pidana.

Leave a Reply